MAKALAH
TAFSIR
EKONOMI
RIBA
DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
DISUSUN OLEH:
AHMAT MISNAI
1416142133
DOSEN PENGAMPUH:
BADRUN TAMAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BENGKULU
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam bingkai
ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan
memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at Islam. Allah
telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara
yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang
mengandung riba.
Diskursus
mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan
pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan
yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan
riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi dibidang perekonomian
(dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia
dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari
transaksi hutang piutang. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
pandangan-pandangan agama dan para ulama mengenai riba dan macam-macam riba.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
riba dalam pandangan Yahudi dan Nasrani ?
2.
Jelaskan
riba dalam pandangan filosof ?
3.
Jelaskan
riba dalam Islam ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui riba dalam pandangan Yahudi dan Nasrani
2.
Untuk
mengetahui riba dalam pandangan filosof
3.
Untuk
mengetahui riba dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Riba dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani
Riba merupakan
bentuk penjajahan dalam bidang ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan dan
kesengsaraan, khususnya bagi kaum yang lemah. Oleh karena itu Agama-agama
Samawi besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam sepakat mengharamkannya. Pengharaman
ini secara eksplisit tercantum dalam kitab suci masing-masing agama tersebut.[1]
1.
Riba dalam pandangan Yahudi
Dalam agama Yahudi melarang adanya pengambilan
bunga (riba).Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik
dalam perjanjian lama maupun Undang-Undang Talmud. Dalam Kitab
Keluaran (Exodus) ayat 22 pasal 25
disebutkan :
“ Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku, orang-orang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku seperti penagih hutang terhadap dia janganlah kamu membebankan bunga
uang kepadanya”.
Selanjutnya dalam Kitab Imamat (Levicitus) ayat 25 pasal 35-37, dijelaskan :
“ Apabila saudaramu jatuh
miskin sehingga tidak sanggup bertahan diantaramu, maka engkau harus menyokong
dia sebagai orang asing dan pendatang supaya ia dapat hidup diantaramu (35)
Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya melainkan engkau
harus takut kepada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu (36)
janganlah engkau memberi/meminjamkan uang kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan meminta
riba (37).”
Namun
pelarangan praktek riba ini tidak universal, ruang lingkupnya hanya pada
transaksi diantara sesama umat Yahudi. Bila transaksi dengan orang asing selain
Yahudi, diperbolehkan memungut bunga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomium)
ayat 23 pasal 19-20:
“ Janganlah
engkau membungakan kepada saudaramu baik uang atau bahan makanan apapun yang
dapat dibungakan (19) Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, supaya
Tuhan, Allahmu memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau
masuki untuk mendudukinya (20)”
2. Riba Dalam Pandangan Nasrani
Pada
kalangan umat nasrani (Kristen), terdapat pembahasan menarik terkait hukum
pengambilan bunga yang berlangsung panjang selama kurang lebih 16 abad.
Meskipun larangan pengambilan bunga (riba) tidak tertulis secara jelas di kitab
perjanjian baru, namun sebagian kalangan kristiani menganggap ayat tersebut
merupakan bentuk larangan praktik riba untuk mereka. Penjelasan riba dalam
kitab Lukas 6:34-35, yaitu:
“Dan jikalau kamu meminjamkan
sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihanilah musuhmu dan berbuatlah
baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu
akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasiih dan terhadap orang-orang
jahat.”
Ayat tersebut dijadikan oleh
sebagian kalangan Kristiani sebagai dasar hukum larangan praktik pengambilan
bunga atau riba. Ditinjau dari segi bahasa memang tidak terdapat diksi yang
jelas yang menyebutkan larangan riba seperti di dalam Al-Quran. Hal inilah yang
menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Kristiani. Berbagai pandangan di
kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama,
yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad-XXII) yang mengharamkan bunga,
pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang berkeinginan agar bunga
diperbolehkan dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI-tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga (riba).[2]
B.
Riba Dalam Pandangan Filosop
Sekitar dua dasawarsa (20 tahun) menjelang abad 21, ratusan
bank-bank syari’ah di dunia internasional, meraih sukses dan kemajuan luar
biasa. Bank-bank Islam yang menghapuskan bunga dan menggantinya dengan sistem
bagi hasil, ternyata sangat ampuh dan tangguh menghadapi gejolak krisis moneter
dan bisa meraup keuntungan bisnis.Dengan majunya bank-bank
syari’ah tanpa bunga, maka otomatis hukum bunga bank yang pernah
diperselisihkan dan diperdebatkan, menjadi tergugat kembali. Kalau dulu, ada
ulama yang menerima dan membolehkan bunga dengan alasan darurat atau
memandangnya sebagai suatu keharusan agar bank bisa hidup dan memperoleh
untung, maka di zaman ini, alasan darurat atau anggapan keharusan bunga itu,
telah hilang sama sekali
Dua orang
filsafa yunani terkemuka plato 427-347 SM dan aristoteles 384-322 SM mengecam
praktik bunga. Begitu juga dengan Cato dan Cicero. Plato mengecam sistem bunga
dengan dua alasan:
1.
Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak
puas dengan masyarakat
2.
Bunga merupakan alat golongan kaya untuk
mengeksploitasi golongan miskin
Menurut
pendapat Aristoteles:
1.
Fungsi uang hanya sebagai alat tukar
2.
Uang bukan alt untuk menghasilkan tambahan
dengan bunga
3.
Bunga adalah uang yang berasal dari uang yang
keberadaanya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi
Ringkasnya ahli
filsafat romawi dan yunani, ia menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina
dan keji. Abu Zahrah dalam
kitab Buhūsu fi
al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba
bahwa riba adalah
tiap tambahan sebagai
imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk
konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk
mendapatkan sejumlah uang
guna keperluan pribadinya,
tanpa tujuan untuk
mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di
kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.[3].
C.
Riba dalam Islam
1. Pengertian Riba Dalam Islam
Dalam syariat
Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi
jual beli sehingga, menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan
sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang
harganya lebih besar atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan
keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah
riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT, Dan Rasul-Nya serta menjadi
ijma kaum muslimin atas keharamanya. Di dalam Islam riba dalam bentuk apapun
dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sungguh sangat
besar sekali azab bagi orang-orang yang suka memakan harta riba, tapi
kebanyakan orang selalu mengangga enteng tentang apa yang dilakukannya, bahkan
ada yang sebagian lagi sengaja memakan riba yang padahal dia sendiri tahu akan
hukumnya dalam Al-Quran.[4]
2.
Pandangan Al-Quran tentang Riba
a.
QS.
Al-Baqarah (2):278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُممُّؤ
مِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا
بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”(QS.Al-Baqarah
(2):278).“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
kethuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.”(QS. Al-Baqarah (2):279).
b.
QS.
Al-Baqarah (2):275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَا نُ مِنَ
الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
ۗوَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَوَأَمْرُهُ إِلَى
اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحابُ النَّارِهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya:
“orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri seperti
berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikan itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
bagi apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghunu-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[5]
c.
QS.
Al-Imran (3):130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
d.
QS.
Al-Rum (30):39
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”[6]
3.
Riba
Dalam As-Sunnah
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada
al-qur’an melainkan juga Al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang
berfungsi menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui
al-qur’an, pelanggaran riba dalam hadis lebih terinci. Dalam amanatnya
terakhirnya pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10 hijriyah, Rasulullah masih
menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan
menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang
kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal
(uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan”.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
“Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan 4 golongan
memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah)
peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya”.
a)
HR.
At-Tirmidzi
“Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba,
dua orang saksinya, dan penulisnya (sekretarisnya).”
b)
HR.
Ahmad
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya
itu lebih berat dosanya daripada tiga puluh enam berbuat zina.”
c)
HR.
Al-Hakim
“Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu, pintu yang paling ringan
adalah seperti seseorang menikahi ibu kandungnya.”[7]
4. Perbedaan Riba Al-Nasi’ah dan Al-Buyu
a.
Riba nasi’ah
Para ulama menyebutkan bahwa nasi’ah artinya
mengakhirkan dan menangguhkan yaitu, memberi tambahan pada suatu barang dari
dua barang yang ditukar (dijualbelikan) sebagai imbalan dari diakhirkannya
pembayaran. Dari Qatadh rahimahullah ia berkata, “sesungguhnya riba di zaman
Jahiliyyah ialah seseorang menjual barang dengan (pembayaran yang ditangguhkan)
sampai batas waktu tertentu. Apabila batas waktu pembayaran telah tiba dan
orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka si pemberi hutang
menambahkan hutangnya dan mengakhirkan lagi waktu pembayaran.”[8]
b. Riba Al-Buyu
Riba
al-buyu’ adalah riba jual beli.Riba jenis ini lahir daripada ketidaksamaan ada
berat atau kuantiti pertukaran dua item riba, penukarannya dibuat secara
tangguh. Atau dengan kata lain riba jenis ini muncul daripada jual beli barang
ribawi. Ia merupakan ketidaksamaan pada berat atau kuantiti pertukaran dua
barang ribawi atau pertukaran tersebut dibuat secara tangguh. Riba buyu disebut
juga riba fadhl, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang
tidak memenuhi kriteria sama kualitas (mitslan bi mitslin), sama kuantitasnya
(sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
5.
Pandangan
Para Ulama Tentang Riba
Secara umum
ulama sepakat tentang pengharaman riba Nasi’ah. Sebaliknya
mereka berbeda pendapat sekitar hukum riba Fadhl. Perbedaan
terjadi dikalangan ulama, baik sahabat, tabi’in maupun pemikir hukum Islam
(fuqaha) kemudian. Sejalan dengan itu, maka ada sejumlah ulama yang
mengharamkan keduanya., riba nasi’ah dan riba fadhl. Dengan pengharaman ini,
maka semua jenis yang dikelompokan pada kelompok riba, dan salah satu termasuk
didalamnya bunga bank, adalah bunga yang diharamkan.
a)
Ahmad
Musthafa Al-Maraghi
Beliau juga berpendapat
bahwa, menjadikan lipat ganda sebagai syarat pengharaman riba. Ketika membahas
al-Baqarah ayat 275-279, Al-Maraghi membagi riba menjadi dua yaitu riba nasi’ah
dan riba fadhl. Adapun bunga bank tidak termasuk pada kategori riba nasi’ah.
Namun perlu dicatat, walaupun berpendapat demikian, al-Maraghi tetap
menginginkan adanya bank Islam yang sesuai dengan sistem perekonomian Islam.
Al-Maraghi juga menganjurkan agar umat Islam berusaha untuk membentuk sistem
ekonomi dan perbankan yang Isalmi.kemudian al-Maraghi menjelaskan bahwa ada dua
macam yang diharamkan dalam Islam; zatnya sendiri dan karena faktor lain.
b)
Ibnu
Qayyim
Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa hukum asli riba memang dilarang.
Namun untuk kondisi tertentu bisa ditolerir. Pentoleriran yang dimaksud yaitu,
untuk riba nasiah diperbolehkan dalam kondisi darurat, sama dengan kebolehan
memakan binatang yang diharamkan dalam Islam ketika darurat dan Untuk riba fadhl dibolehkan ketika dalam keadaan
membutuhkan (hajat).[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan
diatas, maka kami dapat menarik kesimpulannya bahwa riba adalah bertambahnya
harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga, menjadikan hartanya itu
bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti
atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar atau dengan barang yang
dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus
mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah
SWT, Dan Rasul-Nya serta menjadi ijma kaum muslimin atas keharamanya. Serta,
menurut pandangan agama lain juga mengharamkannya riba atau tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid
sulaiman,”H.fiqih Islam (Hukum Fikih
Islam)”,(Bandung:PT.Penerbit Sinar Baru Algensindo,2012).hlm.41.
Perjanjian
Lama Ibrani Indonesia. 2004., Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia
Sahroni, Oni. 2015. Maqashid
Bisnis & Keuangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Amalia, Euis.
2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Depok: Gramata Publishing.
Abdul Rahman,”Fiqih Muamalat”,(Jakarta: Kencana
Prenada Media Grub,2010), hlm.220-223
[1]Rasjid sulaiman,”H.fiqih Islam (Hukum Fikih Islam)”,(Bandung:PT.Penerbit
Sinar Baru Algensindo,2012).hlm.41.
[2]Perjanjian Lama Ibrani Indonesia.
Lembaga Alkitab Indonesia, (Jakarta:2004),
hlm.123.
[3]
Abdul Rahman,”Fiqih Muamalat”,(Jakarta: Kencana
Prenada Media Grub,2010), hlm.220-223
[4]Oni Sahroni, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), hlm.84.
[5]Oni Sahroni, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), hlm.85.
[6]Oni Sahroni, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), hlm.85.
[8]Oni Sahroni, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), hlm.87.
[9]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.12.
0 Komentar