MAKALAH FIQH
MU’AMALAH
“JUAL
BELI MURABAHA, SALAM , DAN ISTIHNA”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2 :
DOSEN
PEMBIMBING
KHAIRIAH
ELWARDAH
PRODI PERBANKAN SYARIAHFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016
PEMBAHASAN
A.
JUAL
BELI MURABAHA
Kata
al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ)
yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), atau murabahah juga berarti Al-Irbaah
karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada
yang lainnya.Karena dalam definisinya di sebut adanya “keuntugan yang
disepakati “,karakteristik murabaha adalah sipenjual harus memberi tahu pembeli
tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumblah keuntungan yang ditambah
pada biaya tersebut . misalnya si fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang
dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya mengatakan “ saya jual unta
ini 50 dinar, saya mengambil keuntungan 15 dinar “.
Dalam
praktiknya, murabaha dapat dilakukan langsug oleh si penjual dan sipembeli
tanpa melalui pesana. Akan tetapi murabaha dapat pula dilakukan dengan cara
pemesana lebih dahulu. Misalnya, sesorang ingin membeli barang tertentu dengan
spesifikasi tertentu,vsedangkan berang tersebut belum ada pada saat pemesanan,
maka sipenjual akan mencari dan membeli
barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada sipemesan.
Transaksi murabaha melalui pemesanan ini adalah sah dalam fiqh islam, antara
lain dikatakan oleh imam muhammad ibnu-hasan asy-Syahibani, imam syafi’i, dan
imam ja’far ash-shidiq.[1]
Dalam
murabaha, melalui pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish
ghadiyah “uang tanda jadi” ketika ijab kabul. Bila kemudian sipenjual telah
membeli dan memasang barang yang sesuai dengan spesifikasi yang dipesan oleh
pembeli, sedangkan si pembeli membatalkannya, hamish ghadiyah ini dapat
digunakan untuk menutup kerugian si penjual, bila jumblahnya lebih kecil
dibanding jumblah kerugian yang dharus ditanggung si penjual, penjual dapat
meminta kekuranganny. Sebaliknya, bila lebih, si pembeli ber hak atas kelebihan
itu.[2]
b.
Landasan Hukum
Landasan hukum akad murabaha ini adalah
1.
Al-Qur’an
Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Dan firman Allah:
لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”
(QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan
ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli.
Murabahah menurut Azzuhaili, adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara
kedua belah pihak yang bertransaksi.
2. Assunnah
·
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan
seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
·
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, membeli
dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata
kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu
'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi
apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda,
"kalau tanpa ada harga saya tidak mau".[3]
3. Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional
·
Nomor 4/ DSN-MUI IV/ 2000 tanggal 1 April
2000 tentang Murabahah,
·
Nomor 13/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16
September 2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah,
·
Nomor 16/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16
September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah,
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
·
Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28
Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.[4]
c.
Rukun dan Syarat Jual Beli Muranaha
Rukun murabaha adalah :
1.
Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli.
2.
Obyek yang diakadkan,
yaitu barang yang diperjual belikan dan harga.
3.
Akad/Sighat yang terdiri dari ijab dan qabul.
Adapun syarat-syaratnya adalah :
a)
Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua, karena
mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan
prinsip murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli
fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui
oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid (tidak sah) .
b)
Mengetahui
Keuntungan
harusnya juga diketahui
karena ia merupakan bagian dari harga. Keuntungan atau dalam praktek perbankan
syariah sering disebut dengan margin murabahah dapat dimusyawarahkan antara
bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak,
terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.
c)
Harga pokok
dapat dihitung dan diukur.
arus dapat diukur, baik
menggunakan takaran, timbangan ataupun hitungan. Ini merupakan syarat
murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang
berbeda, yang penting bisa diukur dan di ketahui.
d)
Jual beli
murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
B.
JUAL BELI SALAM
a.
Pengertian jual beli salam
Di beberapa daerah
lazim di temui praktek ijon, yaitu menjual buah-buahan di pohon yang belum
berbuah. Contohnya pembelian buah mangga 2 bulan sebelum musin mangga tiba.
Jual beli semacam ini dilarang dalam islam, karena tidak jelas berapa jumblah barang yang diperjual belikan.
Kalaupun ada pengecualian, itu adalah ba’i ( jual beli ) salam dengan
batasa-batasan tertentu.
Ba’i salam adalah jual
beli dengan ketentuan si pembeli membayar saat ini untuk barang yang akan di
terimanya di masa yang akan datang. Dalam contoh di atas, pembelian mangga
sebelum masa panen itu sah bila ditentukan kuantitas, kualitas, dan kapan waktu
penyarahanya. Dalam prakteknya, pembayaran ba’i salam tidak selalu dalam bentuk
uang dapat juga dalam bentuk barang lain. Syaratnya, barang yang digunakan
untuk pembayaran tidak sejenis dengan barang yang dibeli. Bila si penjual gagal
menyerahkan barang misalnya meninggal, atau barangnya rusak, si pembeli
menerima kembali uangnya.[5]
b.
Rukun dan
Syarat Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam
harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a.
Muslam atau
pembeli
b.
Muslam ilaih atau
penjual
c.
Modal atau uang
d.
Muslam fiihi
atau barang
e.
Sighat atau
ucapan
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
·
Uangnya dibayar
di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
·
Barangnya
menjadi utang bagi penjual
·
Barangnya dapat
diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan
barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang
yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
·
Barang tersebut
hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan
cara menjual barang itu
·
Diketahui dan
ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat
itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
·
Disebutkan
tempat menerimanya.[6]
c.
Landasan Hukum jual beli salam
Akad bai’ salam diperbolehkan
dalam akad jual beli. Berikut dalil-dalil (landasan syari’ah) yang terdapat
dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
·
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah
ayat 282
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ. (
البقرة : ٢٨٢ )
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.Al-Baqarah:282)
·
Hadits
مَنْ أَسْلَفَلا فِىْ شَئْ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوووَزْنٍ مَعْلُوْمٍ
اِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“ Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” .
Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil
yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik
jual beli salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari
sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi
perselisihan.[7]
C. ISTISHNA’
a. Pengertian istishna’
Lafal istishna’ berasal dari akar
kata shana’a ( صنع) diatambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’ ( استصنع) yang sinonimnya , artinya : “meminta untuk dibuatkan
sesuatu”
Pengertian istishna’ menurut
istilah tidak jauh berbeda dengan menurut bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan
pengertian menurut istilah ini sebagai berikut :
“ defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk
mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli
sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak
produsen tersebut.”
Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa
akad istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama (
orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada pihak kedua ( orang yang membuat/
produsen ) untuk dibuatkan suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari
pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ). Pihak pertama
disebut mustashni’ , sedangkan pihak kedua, yaitu penjual
disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi objek akad
disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ). Apabila bahan
yang dibuat berasal dari mustashni’ bukandari shani’ maka
akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian
sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad ishtisna’ itu
hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ itu adalah permintaan
untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.[8]
b.
Syarat dan rukun istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
·
Bai’ istishna’
mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
·
Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang
yang bisa dipesan
·
Dalam bai’
istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesanan
·
Setelah akad
jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap
isi akad yang sudah disepakati
·
Jika objek dari
pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak
pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun syarat-
syarat istishna’ adalah sebagai berikut :
·
Menjelaskan tentang
jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut
adalah barang yang dijual ( objek akad ).
·
Barang tersebut harus berupa barang yang
berlaku muamalat diantara manusia, seperti bejana, sepatu, dan lain-lain.
·
Tidak ada ketentuan
mengenai tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila waktunya ditentukan,
menurut Imam Abu Hanifah, akan berubah menjadi salam dan berlakulah
syarat-syarat salam, seperti penyerahan alat pembayaran ( harga )
dimajelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak
diperlakukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna’ itu hukumnya
sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut adat kebiasaan,
penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad istishna’.[9]
c.
Landasan hukum istishna
Landasan hukun untuk istishna’ secara tekstual
memenag tidak ada. Bahkan menurut logika, istishna’ ini tidak
diperbolehkan, karena objek akadnya tidak ada. Namun , menurut Hanafiah, akad
ini diperbolehkan berdasarkan istihsan, karena sudah sejak
lama istishna’ ini dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang
mengingkarinya, sehingga dengan demikian hukum kebolehannya itu digolongkan
kepada ijma’. Mengenai ijma’ ini Anas bin Malik
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda :
“sesungguhnya
ummatku tidak akan bersepakat unutk kesesatan, apabila kamu melihat ada
perselisihan, maka ikutilah kelmpak yang banyak. ( HR. Ibnu Majah )
Mazhab Hanafi
Menyetujui Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
a. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara
luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan
bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b.
Di dalam Syariah di
mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama
c.
keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan
masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di
pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain
membuatkan barang untuk mereka.
d.
Bai’ al-istishna’
sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan
dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha
kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan
aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu
mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya
kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di
minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.
Menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad istishna’ dibolehkan atas dasar
akad salam, dan kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku
unutk salam juga berlaku untuk akad istishna’. Diatara
syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga ( alat pembayaran ) didalam
majelis akad. Seperti halnya akad salam, menurut
Syafi’iyah, istishna’ itu hukumnya sah, baik masa penyeangan barang
yang dibuat ( dipesan ) ditentukan atau tidak, termasuk diserahkan secara tunai.[10]
D.
PERBEDAAN JUAL BELI MURABAHA, SALAM, DAN ISTISHNA’
Murabaha adalah
sipenjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan
menyatakan jumblah keuntungan yang ditambah pada biaya tersebut.
Ba’i salam adalah jual
beli dengan ketentuan si pembeli membayar saat ini untuk barang yang akan di
terimanya di masa yang akan datang.
Sedangkan istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana
pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada pihak kedua (
orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu barang, seperti sepatu,
yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ).
Baca Juga : JUAL BELI YANG DI LARANG DALAM ISLAM
[1] Adiwarman A. Karim,”Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer”, (Gema Insani, Jakarta:
2001)Hal .86.
[2]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar: 2010) Hal .104-105.
[3]. Ibid., Hal .109.
[4]Ibid.,hal. 110.
[5]Sutan Remy Sjahdeini, “Pebankan Syari’ah Produk-Produk Dan Asak-Asak Hukumnya”,(Prenadamedia
Group,Jakarta :2014),Hal.178.
[6]Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta:
2008), Hal.113.
[7] Ibid.,Hal.109.
[8] Sutan Remy Sjahdeini, “Pebankan Syari’ah Produk-Produk Dan Asak-Asak Hukumnya”,(Prenadamedia
Group,Jakarta :2014),Hal.157.
[9]Muhammad Syafi’i Antonio,Bank
Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek,Hal.108
[10]Ibid.,hal.112.
0 Komentar